Rabu, 13 Agustus 2014

Di Balik Tirai Kejahatan terhadap Kesusilaan

Saya belajar hukum, dan saya banyak melihat pelanggaran hukum berseliweran di televisi. Hukum yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum seakan-akan belum mampu membendung berbagai kejahatan yang terjadi di masyarakat. Saya menyadari dalam membentuk suatu masyarakat yang aman dan tenteram tidak hanya tanggung jawab penegak hukum, ini adalah tanggung jawab semua pihak. Hal yang membuat saya miris akhir-akhir ini adalah maraknya kasus pelecehan atau kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Jika kita masih mengingat beberapa bulan lalu mencuat kasus JIS, Emon, maka kali ini adalah kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang dilakukan oleh beberapa orang yang dilanjutkan dengan tindakan pembunuhan. Tidak hanya itu yang paling memalukan tindakan keji ini dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, katakanlah paman terhadap keponakan bahkan oleh ayah korban sendiri yang seharusnya menjadi pelindung.
Tidak terbayangkan oleh saya bagaimana perasaan dari seorang anak yang masih kecil harus menerima kenyataan hidup yang pahit dan akan menghantuinya sampai ia dewasa, dan hal yang paling mengkhawatirkan adalah akan timbul kemungkinan korban akan melakukan apa yang telah ia terima dari pelaku kepada orang lain di kemudian hari, karena tidak jarang pelaku-pelaku kekerasan seksual adalah korban di masa lalu.
Untuk itu saya akan sedikit mengulas tentang pelecehan seksual atau kekerasan seksual yang saya pelajari beberapa waktu lalu. Saat saya belajar tindak pidana tertentu dosen menceritakan sebuah percakapan antara X dan Y, kurang lebih bunyinya seperti ini
X: lo pernah mengalami pelecehan seksual atau nggak?
Y: Hmm,, kayaknya gak pernah deh, iya gak pernah.
X: Gak pernah, atau lo yang gak sadar kalau lo mengalami pelecehan seksual?
Y: Hah??
Lalu dosen saya menjelaskan banyak dari kita yang secara sadar atau tidak sadar mengalami sebuah pelecehan seksual. Karena pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, di tempat kerja, di kendaraan umum, di lift, dan bahkan di instutusi pendidikan seperti yang terjadi di JIS.
Untuk lebih jelasnya, kita harus mencari terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual. Menurut KBBI, pengertian pelecehan seksual adalah pelecehan yang merupakan bentuk pembedaan dari kata kerja melecehkan, yang berarti menghina, merendahkan, mengabaikan. Sedangkan seksual artinya adalah hal yang berkenaan dengan seks atau kelamin, hal yang berhubungan dengan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Jadi kesimpulannya pelecehan seksual adalah suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berhubungan dengan seks, jenis kelamin, atau aktivitas seksual antara laki-laki dengan perempuan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah pelecehan seksual, KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul yang diatur dalam pasal 289-296 KUHP. Istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dilakukan dalam rangka memenuhi nafsu birahi, contoh cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya (R.Soesilo). Untuk lebih jelasnya berikut rumusan pasal 289 KUHP:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”
Unsur-unsur pasal 289 KUHP yaitu:
1. Barangsiapa
2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
3. Memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan untuk dilakukan perbuatan cabul
Salah satu unsur di atas adalah bahwa pencabulan ini dapat dilakukan baik terhadap laki-laki maupun perempuan, berbeda dengan pasal perkosaan yang korbannya hanya perempuan saja. Dalam KBBI aktivitas pelecehan dilakukan antara laki-laki dan perempuan, namun di sini dapat terjadi antara laki-laki dengan laki-laki sebagaimana yang ada dalam pasal 289 KUHP ini.
Kembali menilik tentang pelecehan seksual yang terjadi di kendaraan umum atau di berbagai tempat yang memungkinkan sebuah pelecehan seksual terjadi yang disadari atau tidak disadari. Istilah seksual mengarah pada sexual harassment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenzi dan David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai “imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environment”. Dengan demikian dapat ditekankan bahwa dalam pelecehan seksual terdapat ketidakinginan atau penolakan terhadap bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual, hal ini bisa dalam bentuk kata-kata yang wajar menurut norma setempat namun tidak dikehendaki oleh orang yang menerima perkataan tersebut. Namun dalam KUHP untuk menentukan bahwa seseorang sudah menjadi korban pencabulan harus memenuhi unsur bahwa ia mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan, sehingga pasal ini sulit menjangkau seluruh bentuk-bentuk pelecehan seksual. Contoh, orang yang berkata hal-hal berbau cabul pada orang lain namun tidak disertai dengan kekerasan, maka ia tidak dapat dikenakan pasal pencabulan ini walaupun bagi orang yang mendengarnya menganggapnya pelecehan seksual.
Selanjutnya sesuai dengan pembahasan di awal mengenai kekerasan atau pelecehan seksual pada anak maka kita akan mengaitkannya dengan pasal 290 KUHP.
“Diancam dengan pidana tujuh tahun:
1. Barang siapa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya dikawini.
3. Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas atau yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin , untuk melakukan atau dibiarkan melakukan atau dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain”
Pasal di atas dapat dikenakan pada pelaku-pelaku pencabulan anak-anak yang belakangan ini marak terjadi. Jika kita mengikuti kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak, kebanyakan mereka termakan bujuk rayu dari pelaku dengan iming-iming uang jajan, dan banyak juga terjadi anak-anak yang mengalami kekerasan seksual ini tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukan terhadapnya adalah perbuatan yang menyimpang dan membahayakan bagi dirinya baik secara psikis maupun fisik.
Kesuiltan yang dihadapi dalam melakukan menjatuhkan pasal ini adalah tidak ada hukuman minimum yang dapat dijatuhkan kepada pelaku, dengan kata lain hanya maksimal tujuh tahun penjara dan ini tidak setimpal dengan apa yang telah dilakukan oleh pelaku, bisa jadi mereka hanya dapat sanksi kurang dari tiga tahun yang tentu merugikan korban.
Untuk itu, karena kita menganut asas lex spesiali derogate legi generali yang artinya aturan hukum khusus didahulukan dari hukum umum maka kita akan lebih memilih pasal 82 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bunyinya:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
Dengan demikian selain melaksanakan asas lex spesialis derogate legi generali, menjatuhkan hukuman ini lebih baik karena ada minimum sanksi hukuman yaitu tiga tahun penjara dan maksimal lima belas tahun penjara. Walaupun begitu, bagi saya hukuman ini tidak sebanding dengan apa yang akan dialami oleh korban, korban akan mengalami trauma seumur hidup, bahkan masa depan korban dipertaruhkan.
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak semua pihak wajib bertanggung jawab. Semua elemen masyarakat wajib melakukan tindakan preventif dan represif agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan. Mengapa kasus di JIS bisa terjadi padahal semua tindak pidana tersebut dilakukan di dalam lingkungan sekolah? Pengawasan tidak cukup hanya menggunakan CCTV melainkan harus ada kontrol langsung dari pihak keamanan, mengutip perkataan dosen saya kenapa tidak dilakukan patroli oleh satpam di tempat-tempat yang sepi dan hanya mengandalkan CCTV? Selanjutnya kenapa kasus kekerasan seksual dan mutilasi dapat terjadi di Bengkalis dan menjatuhkan tujuh orang korban? Apakah polisi dan masyarakat tidak menangkap gelagat aneh dari pelaku? atau masyarakat menutup mata terhadap apa yang ada di sekitar mereka karena terpaku pada masalah mereka sendiri? Jika kita menelusuri penyebab dan akibat semua akan saling terhubung antara satu dengan yang lain, dan sekali lagi, semua ini tanggung jawab kita.
NB: Tulisan ini tidaklah sempurna, saya hanya ingin agar kita lebih peduli atas apa yang terjadi di sekitar kita, terutama tindak pidana yang berseliweran dan mengorbankan anak-anak tidak berdosa.
Sumber:
KUHP
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Perlindungan%20dan%20Penegakan%20HAM.pdf
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50692e475ef42/pelaku-persetubuhan-karena-suka-sama-suka,-bisakah-dituntut?
http://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/viewFile/5295/4052
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2472/kekerasan-seksual-mitos-dan-realitas
http://law.ui.ac.id/v2/buletin/opini/72-ketika-kekerasan-seksual-terhadap-anak-terjadi-di-lembaga-pendidikan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar